Damai kemarin sore, 04 Nov 2016 terlepas apakah teman2 dzun sepakat dengan aksi kemarin. Saya bingung memulainya, jadi ceritanya ga runut, seadanya... Dari awal aksi selepas sholat juma'at, longmarch terasa berada di pusaran kisah sejarah perjuangan pada masa awal-awal Islam. Massa tumpah ruah di jalan, tapi jangan bayangkan aksi dorong-mendorong, yang ada sikap saling melindungi satu sama lain. Perempuan diberikan jalan lebih dahulu, ayah yang menggendong anaknya pun diperlakukan demikian. Beberapa laskar menjaga persimpangan jalan yang berpotensi tabrakan antar massa. Juga melindungi penjaja makanan kaki lima dari kepadatan arus massa. Jangan bayangkan haus dan lapar, di sepanjang jalan berdiri relawan yang menawarkan minuman dan makanan. Bahkan sesama peserta aksi saling menawarkan minum dan makan, saling mengenalkan diri dan daerah asalnya. Masuk waktu ashar, lautan massa mulai memenuhi area sholat yg disediakan. Antrian toilet, antrian wudhu, semua sangat teratur. Ingat lho, jumlah massa sudah ratusan ribu bahkan juta orang, bisa tertib dan teratur. Suplai makanan dan minuman tidak berhenti. Relawan begitu bersemangat menyediakan logistik untuk peserta aksi selepas sholat ashar.
Hanya saja, ketika konsentrasi massa sudah berkumpul di depan istana, suplai logistik terhambat karena tidak ada lagi jalan untuk distribusi. Massa begitu padat namun tertib duduk atau berdiri mendengarkan orasi dari mobil komando. Dengan begitu, peserta aksi hanya memiliki persediaan air atau makanan yang hanya ada ditangan mereka sendiri. Justru dalam keterbatasan persediaan air itulah saya melihat bagaimana seorang muslim memperlakukan saudaranya yang lain. Bagi yang memiliki persediaan air, selalu berusaha menawarkan ke orang-orang sekitarnya sebelum dia minum. Itupun tidak mudah menawarkan, karena yang ditawarkan hanya mengangguk lalu menolak dengan halus agar pemilik air menawarkan airnya ke orang lain dulu. Memasuki waktu maghrib, beberapa peserta aksi mulai haus sementara jalan keluar untuk mencari air sudah tidak bisa lagi. Kebetulan saya memiliki dua botol air mineral. Saya mencoba menawarkan kembali,
alhamdulillah beberapa orang mau meminum. Apa yang terjadi? Peserta hanya minum satu atau dua tenggak saja sehingga beberapa orang hanya menghabiskan setengah botol saja. Memasuki waktu Isya, polisi mulai menembakan gas air mata ke tengah massa. Banyak peserta yang matanya perih, termasuk saya, bahkan ada yang muntah. Saya mencoba menyiram air ke mata saya sendiri. Lalu mengoleskan odol ke mata agar menetralisir efek gas air mata. “Air...air...air…” banyak peserta yang berteriak meminta pertolongan. Beberapa orang yang masih memiliki sisa persediaan air berlomba berikan pertolongan. Dengan sekuat tenaga saya mencoba menggunakan sisa air di tas untuk menolong. Tahu apa yang terjadi? Satu setengah botol air saya bisa menolong banyak orang, karena peserta yang terkena efek gas air mata hanya menggunakan air sedikit mungkin untuk dirinya, lalu memberikan ke peserta aksi yang lain. Yang mual hanya minum satu teguk, lalu memberikan ke orang lain. Bahkan ada peserta yang memiliki persediaan air membasahi sorbannya agar bisa lebih banyak menolong dengan cara mengelap mata korban dengan sorban yang basah tadi. Bukan hanya itu, ketika hujan gas air mata semakin banyak dan mata makin perih, dan ketika odol sudah habis, banyak peserta aksi yang sudah mengoleskan odol di sekitar matanya, tiba-tiba mengelap odol dari wajahnya agar bisa dioleskan ke wajah orang lain. Demi Allah, saya menyaksikan betapa kaum muslimin saling melindungi saudaranya dari hujan gas air mata. Beberapa lelaki membuat lingkaran kecil untuk menjadi tameng bagi peserta aksi perempuan. Beberapa orang kemudian berlari mengejar peluru gas air mata yang datang, menginjak-injaknya agar tidak mengeluarkan gas lebih banyak. Tidak hanya itu, jika dari udara terlihat gas air mata yang akan jatuh ke massa, para peserta aksi saling menarik saudaranya agar terhindar, bukan berlari menyelamatkan diri sendiri padahal dalam kondisi yang gawat.
Persediaan air habis, beberapa orang mencoba mengais botol-botol kosong yang berserakan di jalan sambil berharap siapa tahu masih ada setes air yang bisa digunakan untuk menetralisir gas di mata atau mual di mulut. Saya tidak kuat lagi menceritakan cerita-cerita mengagumkan selanjutnya. Karena masih banyak cerita yang lahir, bahkan hingga aksi dipindahkan ke gedung DPR dan bubar di waktu shubuh. Saya jadi teringat pelajaran di sekolah tentang kisah heroik muslimin dalam peperangan di awal-awal sejarah Islam. Dimana di suatu peperangan, ketika ada prajurit terluka yang sedang ditolong dengan diberikan air, prajurit itu meminta agar air diberikan ke prajurit lain yang lebih membutuhkan. Ketika air ingin diberikan ke prajurit kedua, sang prajurit pun meminta agar air diberikan ke prajurit yang lebih sekarat, hingga akhirnya para prajurit itu satu per satu meninggal demi mengutamakan saudaranya yang lain. Dalam aksi ini tidak ada sekat, tidak saling mengenal, tidak mementingkan diri sendiri, tapi saling melindungi. Alhamdulillah saya mendapatkan pengalaman betapa murninya persaudaraan dalam aksi 4 Nov kemarin.
Allah menyatukan hati kami semua. Sekali lagi saya minta maaf jika sebagian teman-teman Dzunnuroin menganggap aksi ini tidak patut, tetapi beberapa kali saya ikut aksi sejak mahasiswa dulu, buat saya ini aksi “people power” yang bener-bener murni “rasanya”, hanya Allah yang memberikan “rasa” itu sehingga para peserta aksi menghayati “rasa” yang menggetarkan kalbu untuk berkumpul dan membela kalam-Nya (sekali lagi, walaupun teman-teman Dzun belum tentu sepakat ini penistaan). Coba tanya para aktivis berpengalaman, apakah mudah mengumpulkan “people power” yang sukarela, dari segala penjuru nusantara, dengan biaya sendiri, dalam waktu singat, bahkan menyiapkan kain kafan, hanya karena durasi video penistaan yang beberapa detik saja? Hanya Allah yang menggerakan ini, tidak ada issue yang lebih menggema kecuali membela Alquran. Sekali lagi, jika aksi ini adalah tingkah laku yang konyol, maafkan kami yang telah melakukan aksi 4 Nov ini.
Komentar
Posting Komentar